This nice Blogger theme is compatible with various major web browsers. You can put a little personal info or a welcome message of your blog here. Go to "Edit HTML" tab to change this text.
RSS

Selasa, 09 Desember 2014

Makalah Pada Bayi Dengan Resiko Tinggi Dan Penatalaksanaannya

MAKALAH
 Pada Bayi Dengan Resiko Tinggi Dan Penatalaksanaannya
“Hipoglikemi, tetanus neonatorum, penyakit yang diderita ibu selama hamil, bayi yang lahir dari ibu yang menderita HIV”
Kelompok 8
Dosen Pembimbing :
Sri Rulihari, SST.M.M,kes
Disusun oleh:
Ulil Lailati Nur Faizah(1307.032)
Vivi Rodhiatuz Zulfah (1307.033)
Widya Rusmawardani (1307.034)
Winda Nurayu Oktafia (1307.035)
Zulfi Isma Safitri (1307.037)
Akademi Kebidanan Delima Persada Gresik
Tahun 2014/2015


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih tak pilih kasih, lagi Maha Penyayang. Segala puji adalah milik Allah Tuhan yang maha mengatur lagi maha bijaksana, yang maha penyayang lagi maha dermawan dan maha pengasih lagi maha pemurah.Karena hanya dengan rakhmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sebagai manusia biasa, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.Demi kesempurnaan dan peningkatan kualitas makalah ini, kami mohon kritik dan saran dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
Untuk itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu kami dalam proses penyelesaian penyusunan makalah ini yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada kami guna terselesainya makalah ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan membantu kami dalam melaksanakan kuliah nanti. Amiin




Gresik, 10 November 2014


Penyusun











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………..…ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………iii
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………………………..1
1.2. Rumusan Masalah .………………………………………………………………...………1
1.3. Tujuan ……………………………………………………………………………………   1

BAB II Kajian Teori
2.1. Hipoglikemi ………………………………………………………………………….……2
2.2. Tetanus Neonatorum ……………………………………………………………………...5
2.3. Penyakit Yang Diderita Ibu Selama Hamil ……………………………………………….8
2.4. Lahir Dari Ibu Yang Menderita HIV dan AIDS ………………………………………...10

BAB III Penutup
3.1. Kesimpulan ……………………………………………………………………………...15
3.2. Saran …………………………………………………………………………………….15

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..16




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            LATAR BELAKANG
            Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia . Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia.
Masalah pada neonatus ini biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, serta kurangnya perawatan bayi baru lahir.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus. Data organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.

1.2.            RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi?
2.      Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum?
3.      Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan penyakit yang di derita ibu selama hamil?
4.      Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan lahir dari ibu yang menderita HIV dan AIDS ?
5.       
1.3.            TUJUAN
1.      Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi
2.      Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum
3.      Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan penyakit yang di derita ibu selama hamil
4.      Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan lahir dari ibu yang menderita HIV dan AIDS


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            HIPOGLIKEMI
2.1.1        DEFINISI
Hipoglikemia (hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah berkurangnya secara abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat  dan sakit kepala apabila kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan 
saraf pusat
(KamusKedokteran Dorland:2000).
Definisi kimiawi dari hipoglokemia adalah glukosa darah kurang dari 2,2 m mol/l, walaupun gejala dapat timbul pada tingkat gula darah yang lebih tinggi.
(Petter Patresia A,1997)
Hipoglikemia adalah batas terendah kadar glukosa darah puasa(true glucose) adalah 60 mg %,dengan dasar tersebut maka penurunan kadar glukosa darah di bawah 60 mg%.
(Wiyono ,1999).

Sianosis-pada-hypercyanotic-spells.png          

2.1.2        ETIOLOGI
Secara garis besar hipoglikemia dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan dan produksi glukosa kurang.
a)      Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan
Hiperinsulinisme (bayi dari ibu penderita diabetes), hipoglikemia hiperinsulinisme menetap pada bayi, tumor yang memproduksi insulin dan child abuse. Hiperinsulinisme menyebabkan pemakaian glukosa yang berlebihan terutama akibat rangsangan penggunaan glukosa oleh otot akibat sekresi insulin yang menetap. Kelainan ini diketahui sebagai hipoglikemia hiperinsulin endogen menetap pada bayi yang sebelumnya disebut sebagai nesidioblastosis.
Defek pada pelepasan glukosa (defek siklus Krebs, defek ”respiratory chain”). Kelainan ini sangat jarang, mengganggu pembentukan ATP dari oksidasi glukosa, disini kadar laktat sangat tinggi


Defek pada produksi energi alternatif (defisiensi Carnitine acyl transferase. Kelainan ini mengganggu penggunaan lemak sebagai energi, sehingga tubuh sangat tergantung hanya pada glukosa. Ini akan menyebabkan masalah bila puasa dalam jangka lama yang seringkali berhubungan dengan penyakit gastrointestinal. Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik, termasuk hipertiroidism

b)      Kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa
1.         Simpanan glukosa tidak adekuat (prematur, bayi SGA, malnutrisi, hipoglikemia ketotik)
Kelainan ini sering sebagai penyebab hipoglikemia, disamping hipoglikemia akibat pemberian insulin pada diabetes. Hal ini dapat dibedakan dengan melihat keadaan klinis dan adanya hipoglikemia ketotik, biasanya terjadi pada anak yang kurus, usia antara 18 bulan sampai 6 tahun, biasanya terjadi akibat masukan makanan yang terganggu karena bermacam sebab Penelitian terakhir mekanisme yang mendasari hipoglikemia ketotik adalah gagalnya glukoneogenesis
2.         Kelainan pada produksi glukosa hepar
Kelainan ini menurunkan produksi glukosa melalui berbagai defek, termasuk blokade pada pelepasan dan sintesis glukosa, atau blokade atau menghambat gluikoneogenesis. Anak yang menderita penyakit ini akan dapat beradaptasi terhadap hipoglikemia,karena penyakitnya bersifat kronik Kelainan hormonal (panhypopituitarisme, defisiensi hormon pertumbuhan.
3.      Defisiensi kortisol dapat primer atau sekunder.
Hal ini karena hormone pertumbuhan dan kortisol berperan penting pada pembentukan energi alternative dan merangsang produksi glukosa. Kelainan ini mudah diobati namun yang sangat penting adalah diagnosis dini







2.1.3 TANDA DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia  bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu diterapkan dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko
a.       Tremor
b.      Sianosis
c.       Apatis
d.      Kejang
e.       Apnea intermitten
f.       Tangisan lemah/melengking
g.      Letargi
h.      Kesulitan minum
i.        Gerakan mata berputar/nistagmus
j.        Keringat dingin
k.      Pucat
l.        Hipotermi
m.    Refleks hisap kurang
n.      Muntah
Saat timbulnya gejala bervariasi dari beberapa hari sampai satu minggu setelah lahir. Berikut ini merupakan gejala klinis yang dimulai dengan frekuensi tersering, yaitu gemetar atau tremor, serangan sianosis, apati, kejang, serangan apnea intermiten atau takipnea, tangis yang melemah atau melengking, kelumpuhan atau letargi, kesulitan minum dan terdapat gerakan putar mata. Dapat pula timbul keringat dingin, pucat, hipotermia, gagal jantung dan henti jantung. Sering berbagai gejala timbul bersama-sama. Karena gejala klinis tersebut dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab, maka bila gejala tidak menghilang setelah pemberian glukosa yang adekuat, perlu dipikirkan penyebab lain.
    ( Afroh fauziah, 2012 )

2.1.4        Penatalaksanaan Hipoglikemi
Kejadian hipoglikemia dapat dicegah dengan:
a.       Menghindari faktor resiko yang dapat dicegah, contohnya hipotermia.
b.      Pemberian makan enteral merupakan tindakan preventif tunggal paling penting.
c.       Jika bayi tidak mungkin menyusu, mulailah pemberian minum dengan menggunakan sonde dalam waktu 1-3 jam setelah lahir.

d.      Neonatus yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya penuh dan 3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/Dl
e.       Jika ini gagal, terapi intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa dipantau
Untuk penanganan bayi yang mengalami hiplogikemia dapat dilakukan dengan:
a.       Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
1)      Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam
2)      Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan.
3)      Kadar glukosa ≤  45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia
4)      Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai

b.      Penanganan hipoglikemia dengan gejala :
1)         Bolus glukosa 10% 2 ml/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 ml/menit
2)          Pasang dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan diberikan melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai kebutuhan (kebutuhan infus glukosa 6-8 mg/kg/menit)
Contoh : BB 3 kg, kebutuhan glukosa 3 kg x 6 mg/kg/mnt = 18 mg/mnt = 25920 mg/hari. Bila dipakai D 10% artinya 10 g/100cc, bila perlu 25920 mg/hari atau 25,9 g/hari berarti perlu 25,9 g/ 10 g x 100 cc= 259 cc D 10% /hari.
c.       Untuk mencari kecepatan Infus glukosa pada neonatus dinyatakan dengan GIR.
Kecepatan Infus (GIR) = glucosa Infusion Rate
Atau cara lain dengan GIR
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena sentral
Contoh : Berat bayi 3 kg umur 1 hari
Kebutuhan 80 cc/jam/hari  = 80 x 3 = 240 cc/hari  = 10 cc/jam
d.         Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 3 jam:
1.      Bila kadar glukosa masih < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas

2.      Bila kadar glukosa 25-45 mg/dl, tanpa gejala klinis :
·         Infus D10 diteruskan
·         Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
·         ASI diberikan bila bayi dapat minum
3.      Bila kadar glukosa ≥ 45 mg/dl dalam 2 kali pemeriksaan
·         Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal
·         ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan pelan-pelan
·         Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba
4.      Kadar  glukosa darah < 45 mg/dl tanpa gejala:
1.      ASI teruskan
2.      Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas
3.      Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila :
·      Kadar < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi
·      Kadar 25-45 mg/dl naikkan frekwensi minum
·      Kadar ≥ 45 mg/dl manajemen sebagai kadar glukosa normal
5.      Kadar glukosa normal
·            IV teruskan
·            Periksa kadar glukosa tiap 12 jam
·            Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas
·            Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12 jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam batas normal, pengukuran dihentikan.
e.       Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari)
1)         Konsultasi endokrin
2)         Terapi: kortikosteroid  hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral, mencari kausa hipoglikemia lebih dalam.
3)         bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain: somatostatin, glukagon, diazoxide, human growth hormon, pembedahan. (jarang dilakukan)

2.2.            TETANUS NEONATORUM
2.2.1        DEFINISI
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih.Masih merupakan masalah di indonesia dan di negara berkembang lain, meskipun beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di indonesia. Angka kematian tetanus neonatorum tinggi dan merupakan 45 – 75 % dari kematian seluruh penderita tetanus. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi antara lain radang paru dan sepsis, makin muda umur bayi saat timbul gejala, makin tinggi pula angka kematian. (Maryunani, 2011).


2.2.2        ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat anaerob dimana kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus pada bayi ini dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang kurang steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5 – 14 hari (Hidayat, 2008).
2.2.3        TANDA dan GEJALA
Tanda dan gejalanya meliputi :
a.          Kejang sampai pada otot pernafasan
b.         Leher kaku
c.          Dinding abdomen keras
d.         Mulut  mencucu seperti mulut ikan.
e.           Suhu tubuh dapat meningkat. 

2.2.4        PENATALAKSANAAN
a.       Mengatasi kejang
Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan atau pemberian obat anti kejang.
Obat yang dapat dipakai adalah kombinasi fenobarbital dan largaktil.Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30 – 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan per os dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg BB. Obat anti kejang yang lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat rektum.




·         Pemberian antitoksin
Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat diberi A.T.S (antitetanus serum) dengan dosis 10.000 satuan setiap hari serlama 2 hari .
·         Pemberian antibiotika
Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan penisilin 200.000 satuan setiap hari dan diteruskan sampai 3 hari panas turun.
b.      Perawatan Tali pusat
Tali pusat dibersihkan atau di kompres dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.

c.       Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea, yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi.Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi.Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan).Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan :
a.       Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah bahunya.
b.      Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti turunkan lagi.
c.       Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan memudahkan penghisapan lendirnya.
d.      Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
e.       Observasi tanda vital setiap ½ jam .
f.       Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.
g.      Jika bayi menderita apnea :
·         Hisap lendirnya sampai bersih
·         O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L/ menit)
Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan dengan frekuensi 50 – 6 x/menit.
Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila perlu diselingi tiupan.

d.      Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi kebutuhan makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %. Tetapi karena juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.

e.       Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya mikrodruip).
Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang baik.

2.3.            PENYAKIT YANG DIDERITA IBU SELAMA HAMIL
2.3.1        BAYI LAHIR DARI IBU DENGAN DIABETES MILITUS
bayi lahir dari ibu dengan diabetes militus (DM), beresiko terjadi hipoglikimia pada 3 hari pertama setelah lahir, walaupun bayi sudah dapat minumdengan baik.Anjurkan ibu untuk menyusui dinidengan lebih sering, paling tidak 8 kali sehari siang malam.Bila bayi berumur kurang dari 3 hari, amati samapai umur 3 hari.Periksa kadar glucose saat bayi datang/ pada umur 3 jam.Tiga jam setelah pemeriksaan pertama kemudian tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai kadar glucose dalam batas normal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut.Bila kadar glucose kurang dari 45mg/Dl atau bayi menunjukkan hipoglikemi (tremor/letargi)tangani untuk hipoglikemi.Bila dalam pengamatan tidak ada tanda-tanda hipoglikemi atau masalah lain, pulangkan nayi pada hari ke 3.

Bila bayi umur 3 hari/lebih dan tidak ada tanda-tanda penyakit, bayi tidak perlu pengamatan.Bila bayi dapat minum dengan baik dan tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan d RS, bayi dapat dipulangkan.


2.3.2        BAYI LAHIR DENGAN SIFILIS
Sifilis kongenitalis adalah suatu infeksi oleh bakteri preponema palladium yang ditularkan dari ibu kepada janin di dalam kandungannya.Kemungkinan terjadinya penularan ibu hamil yang menderita sifilis kepada janin melalui plasenta(ari-ari) adalah sebesar 60-80%. Penularan biasanya terjadi pada sifilis stadium awal yang tidak di obati.Hampir 50% bayi yang terinfeksi selama berada dalam kandungan akan meninggal sesaat sebelum atau setelah dilahirkan.
Gejala pada bayi baru lahir,antara lain: rewel, pembesaran getah bening,hati dan limpa,berat badan bayi tidak bertambah aytau gagal berkembang, wajahnya tampak seperti orang tua,bibirnya pecah-pecah, dari hidungnya keluar lender berdarah,lepuhan kecil(vesikel) pada telapak tangan dan telapak kaki,ruam mukulopapulerberwarna tembaga pada wajah, telapak tangan,telapak kaki, ruam pada tepi mulut, alat kelamin dan anus, hidungnya datar (saddle nose), meningitis(peradangan selaput otak), koroiditis(peradangan pada belakang mata), kejang, serta hidrosefalus(pembesaran rongga otak yang berisi cairanakibat peningkatan tekanan di dalam otak).

Gejala bayi yang lebih besar dan anak-anak ialah nyeri tulang, tidak mau bergerak karena tumgkai dan lengannya nyeri,kelainan pada tulang kering(saber shins), pembengkakan sendi, gigi Hutchinson (gigi berbintik-bintik dan berbentuk seperti baji), pembentukan jaringan parut pada luka dimulut, kalamin dan anus (disebut ragade), keterbelakangan mental, gangguan penglihatan,kornea keruh. Gangguan pendengaran atau tuli, bercak abu-abu seperti lender di anus dan vulva(disebut kondiloma lata).

Banyak anak yang menderita sifilis kongenitalis tetap berada pada stadium laten dan tidak pernah manunjukkan gejala.Pada beberapa anak akhirnya akan timbul gejala berupa: luka terbuka di dalam hidung dan di langit-langit mulut, benjolan yang menyerupai tombol pada tulang tungkai dan tulang tengkorak,tuli dan buta,gigi Hutchinson.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik, kemungkinan disertai riwayat sifilis pada ibu selama hamil. Pemeriksaan yang dilakukan pada ibu: Tes VDRL, tes serologis untuk sifilis (VDRL dan FTA-ABS),pemeriksaan mikroskop lapang pandang gelap(untuk menunjukkan adanya treponema pallidum),rontgen tulang.

Bila hasil tes ibu positif dan sudah diobati dengan penicillin 2,4 juta U di mulai sejak 30 hari sebelum melahirkan, bayi tidak perlu diobati.Bila ibu diobati atau pengobatan tidak adekuat atau status pengobatan tidak diketahui,
maka lakukan beberapa hal berikut ini:
1)            Berikan pada bayi benzathine benzylpenicillin imtramuskular dosis tunggal.
2)            Beri ibu dan bapak bayi benzathine benzylpenicillin 2,4 juta U intramuscular dalam dua suntikan di tempat berbeda
3)            Rujuk ibu dan bapak bayi ke RS untuk tindak lanjut
4)            Kalukan tindak lanjut dalam 4 minggu untuk pemeriksaan pertumbuhan bayi dan tanda-tanda sifilis konginetal.
5)            Cari tanda-tanda sifilis konginetal pada bayi(edema,ruam kulit,lepuh di telapak tangan/kaki,kondiloma di anus,rhinitis,hidrops fetalis/hepatosplenomegali).
6)            Bila tanda-tanda di atas, berikan terapi untuk sifiliskonginetal.
7)            Laporkan kasus ke Dinas Kesehatan setempat


2.3.3        BAYI LAHIR DARI IBU DENGAN MALARIA
Bayi dari ibu dengan ibu malaria dapat mengalami premature, BBLR, KMK, dema, masalah minum, iritabel, hipatosplenomegali, ikterus dan anemia.Apabila menemukan kasus bayi baru lahirdengan ibu yang menderita malaria, lakukan hal-hal berikut ini:
1.         Anjurkan ibu tetep menyusui
2.         Periksa hausan darah,terutama plasmodium falsifarum
3.         Bila hasil negative tidak perlu pengobatan
4.         Bila hasil positife, obati dengan anti malaria
5.         Ibu hamil yang menderita malaria, bayi berisiko menderita malaria congenital
6.         Periksa tanda-tanda malaria konginetal,antara lain: ikterus, hepatosplenomegali,anemia, demam, masalah minum, muntah(sangat sulit dibedakan dengan gejala malaria yang di dapat/bukan konginetal).
7.         Gejala dapat timbul 14 jam-8 minggi setelah lahir.Berikan klorokuin basa 10%mg/kgBB peroral, 6 jam kemudian dilanjutkan 5 mg/kgBB, selanjutnya  5 mg/kg BB 12 jam dan 24 jam setelah pemberian  pertama
8.         Jangan memberikan kina pada bayi dibawah umur 4 bulan(efek samping hipotensi)
2.3.4        BAYI LAHIR DARI IBU DENGAN SITOMEGALOVIRUS
Infeksi sitomegalovirus adalah suatu penyakit virus yang bias menyebabkan kerusakan otak dan kematian pada bayi baru lahir . Sitomegalovirus kongenitalis terjadi jika virus dari ibu yang terinfeksi menular kepada janin yang dikandungnya melalui plasenta (ari-ari)

Infeksi pada ibu mungkin tidak menimbulkan gejala sehingga ibu tidak menyadari bahwa dia sedang menderita infeksi Sitomegalovirus..


2.4           LAHIR DARI IBU YANG MENDERITA HIV DAN AIDS
2.4.1        DEFINISI
AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular, yang disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok resiko tertentu, termasuk pria homoseksual, atau biseksual, penyalahgunaan obat intra vena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dan individu yang terinfeksi virus tersebut.( Kementerian Kesehatan RI.2011)

AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi.(Nursalam. 2007.)

Acquired immunodeficiency syndrom (AIDS) suatu gejala penyakit yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh atau gejala penyakit infeksi tertentu / keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) oleh virus yang disebut dengan HIV. Sedang Human Imuno Deficiency Virus merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian mengakibatkan AIDS.
.HIV sistem kerjanya menyerang sel darah putih yang menangkal infeksi.Sel darah putih tersebut termasuk dalam limfosit yang disebut dengan T4 atau sel T penolong.( T helper ), atau juga sel CD 4. HIV tergolong dalam kelompok retrovirus sub kelompok lentivirus. Juga dapat dikatakan mempunyai kemampuan mengopi cetak materi genetika sendiri didalam materi genetik sel – sel yang ditumpanginya dan melalui proses ini HIV dapat mematikan sel – sel T4

2.4.2        ETIOLOGI
Resiko HIV utama pada anak-anak yaitu:
·         Air susu ibu yang merupakan sarana transmisi
·         Pemakaian obat oleh ibunya
·         Pasangan sexual dari ibunya yang memakai obat intravena
·         Daerah asal ibunya yang tingkat infeksi HIV nya tinggi

2.4.3        DIAGNOSIS
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal.Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan lien)
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes  ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan.DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan setelah lahir.CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan.Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV.
Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain.

CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung limfosit CD4dan manifestasi klinis penyakit.Pasien dikategorikan berdasarkan derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E).Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah walaupun terjadi perbaikan status karena pemberian terapi atau factor lain.

Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarga.
Bayi yang beresiko  tertular HIV diantaranya
 :
·         Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
·         Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti
·         Bayi yang lahir dan ibu dengan penyalahgunaan obat melalui vena
·         Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah yang berulang
·         Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas yang tidak steril
2.4.4        Tanda dan Gejala
Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:
·         Gangguan tumbuh kembang
·          Kandidiasis oral
·          Diare kronis
·         Hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)
2.4.5        Penularan
Penularan HIV dari bayi kepada bayinya dapat melalui:
·         Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)(5-10 %)
·         Selama persalinan (intrapartum)(10-20 %)
·         Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (postpartum)
·         Bayi tertular melalui pemberian ASI
·         Sebagian besar (90%), infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses tranfusi. 
BBL memproduksi respon antibodi yg tdk terlalu aktif, Lebih terbatas thd infeksi HIV
Bayi lahir dg ibu HIV seropositif : memiliki antibody HIV saat lahir.
Bayi tdk terinfeksi akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bln.
Sebagian besar bayi terinfeksi : mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap seporopositif
Bayi yang memperlihatkan tanda2 infeksi saat lahir cenderung meninggal dlm satu bulan.
2.4.6        Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
1.      Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
2.      Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
3.      Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI
Untuk mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif  bisa memberikan susu formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu formula harus sesuai dengan persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, dan Safe = aman penggunaannyaPada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan  AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih untuk memberikan ASI eksklusif.
2.4.7        PENATALAKSANAANYA
·            Penghisapan lendir bayi tidak boleh dilakukan dengan penghisap mulut, melainkan dengan suction penghisap lendir yang dihubungkan dengan mesin penghisap.
·            Perlakukan bayi seperti individu yang tidak terinfeksi. 
·            Pencegahan infeksi harus dilakukan agar bayi terhindar dari transmisi infeksi dari ibu ke bayi. 
·            Ibu bayi harus diberitahu agar menghindari bayinya terkena sekresi tubuhnya. 
·            Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau sebelum persalinan. Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung. 
·         Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV ibu dan bayi sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
·         dengan pemberian obat-obat ARV, maka daya tahan tubuh anak dapat meningkat dan mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya.








BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Hipoglikemia (hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah berkurangnya secara abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat  dan sakit kepala apabila kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan saraf pusat
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi
3.2 SARAN
Resum kondisi bayi pasca persalinan harus dilakukan dengan baik. Ketidak akuratan dalam proses pengkajian dapat menyebabkan tidak diketahuinya kelainan dan resiko kelainan pada bayi.

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman nasional pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 
Nursalam.2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Fauziah, Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Anak.Yogyakarta: Nuha Medika
Cunningham, F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta:EGC.
Deslidel, hajjah. 2011. Buku ajar Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta : EGC
Hidayat, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu keperawatan Anak 1. Jakarta : Salemba Medika

Maryunani, Anik. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta : TIM





0 komentar:

Posting Komentar

 
h
a
f
l
u
z
z
u
t
a
i
h
d
o
r
i
v
i
v